Beranda | Artikel
Ziarah ke Masjid-Masjid Bersejarah di Madinah al-Munawwarah
Rabu, 21 Juli 2021

ZIARAH KE MASJID-MASJID BERSEJARAH DI MADINAH AL-MUNAWWARAH

Pertanyaan pertama : Apakah hukumnya orang yang datang ke Madinah untuk shalat di masjid Nabawi, kemudian pergi ke masjid Quba`, masjid Qiblatain, masjid Jum’at, dan masjid-masjid lainnya (masjid Ghamamah, masjid Ash-Shiddiq, masjid Ali Radhiyallahu anhu) serta masjid-masjid bersejarah lainnya. Setelah masuk ke dalam masjid tersebut, ia shalat tahiyatul masjid dua rakaat. Apakah hal itu boleh atau tidak?

Pertanyaan kedua : setelah peziarah sampai di masjid Nabawi, bolehkah ia mengambil kesempatan untuk pergi ke masjid-masjid bersejarah lainnya di Madinah dengan tujuan merenungkan sejarah salafus shalih dan mempelajari secara langsung informasi yang dibacanya di kitab-kitab tafsir, hadits, sejarah peperangan, dan tempat tinggal suku-suku kaum Anshar, saya mohon penjelasan.

Jawaban : Setelah mempelajari, lajnah fatwa menjawab: Sesungguhnya jawaban dua pertanyaan ini menuntut penjelasan secara terperinci sebagai berikut:

Pertama: Setelah meneliti masjid-masjid yang ada di kota Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwarah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya- ia terbagi beberapa bagian:

Bagian pertama: Masjid di kota Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mempunyai keutamaan khusus, yaitu hanya ada dua masjid, tidak lebih:

Salah satunya : Masjid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia terlebih utama masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. [At –Taubah/9:108]

Ia merupakan masjid kedua yang ditambatkan tunggangan (dianjurkan melakukan perjalanan) kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Disebutkan pula dalam hadits yang shahih lagi tegas:

أنَّ صَلاَةً فِيْهِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Sesungguhnya shalat di dalamnya lebih baik dari pada seribu shalat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram[1]

Yang kedua : Masjid Quba`, dan turun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى

Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), [At-Taubah/9:108]

Dalam hadits Usaid bin Hudhair al-Anshari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِ قُبَاءٍ كَعُمْرَةٍ

Shalat di masjid Quba` sama seperti (pahala) umrah.”[2]

Dari Sahl bin Hanif Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيْهِ َصلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ

Barangsiapa yang bersuci di rumahnya, kemudian datang ke masjid Quba`, lalu melaksanakan shalat di dalamnya, untuknya seperti pahala umrah.”[3] Diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa`i, [Ibnu Majah dan ini adalah lafazh hadits riwayat Ibnu Majah].

Bagian kedua : Masjid-masjid kaum muslimin secara umum di Kota Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Ini sama seperti masjid-masjid lainnya, tidak ada keutamaan khusus baginya.

Bagian ketiga : Masjid yang dibangun di arah yang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat padanya, atau ia adalah tempat yang beliau Shallallahu alaihi wa sallam shalat padanya, seperti masjid Bani Salim dan Mushalla ‘Ied, maka ini tidak ada keutamaan khusus baginya dan tidak ada anjuran untuk mendatanginya dan shalat dua rekaat padanya.

Bagian keempat : Masjid-masjid bid’ah lagi baru yang disandarkan kepada masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan masa para Khalifah Rasyidah dan dijadikan tempat ziarah, seperti Masjid Tujuh, Masjid di bukit Uhud,  dan yang lainnya. Maka masjid-masjid ini tidak ada dasarnya dalam syari’at yang suci. Tidak boleh berniat mendatanginya untuk ibadah dan untuk tujuan yang lainnya, bahkan ia adalah bid’ah yang nampak.

Dasar di dalam agama adalah bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kita tidak menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali yang disyari’atkan lewat lisan nabi dan rasul-Nya Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, dan sesungguhnya hal itu dengan merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah rasul-Nya Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, serta ucapan para salaf yang mereka menerima syari’at ini dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan menyampaikannya kepada kita darinya Shallallahu alaihi wa sallam, memperingatkan kita dari bid’ah, karena menjunjung perintah yang membawa berita gembira dan ancaman yaitu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Di mana beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang bukan perkara kami maka ia ditolak.”[4]

Dan dalam lafazh yang lain:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang menciptakan dalam perkara kami yang bukan bagian darinya maka ia ditolak.”[5]

Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي, عَضُّوا عَلَيْهَا باِلنَّوَاجِذِ, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَهٌ

Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khalifah rasyidah sesudahku. Peganglah atasnya dengan gigi geraham (secara sungguh-sungguh), jauhilah perkara-perkara bid’ah, maka sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[6]

Dan nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

اقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي: أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَر

Ikutilah dua orang sesudahku: Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu.”[7]

Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda –saat sebagian sahabat meminta agar beliau menjadikan untuk mereka satu pohon yang mereka mengambil berkah dan menggantungkan pedang mereka dengannya- :Allahu Akbar, sesungguhnya ia adalah jalan yang kamu katakan, demi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diriku berada di tangan-Nya, sebagaimana Bani Israel berkata kepada nabi Musa asl:

اجْعَل لَّنَآ إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةً

buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. [al-A’raaf/7:138][8]

Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِى النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قِيْلَ: مَنْ هِيَ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.

Yahudi terpecah belah menjadi 71 golongan, Nashari terpecah belah menjadi 72 golongan, dan umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.’ Ada yang bertanya, ‘Siapakah dia, ya Rasulullah? Beliau menjawab, ‘Yaitu orang yang tetap seperti yang kupegang pada saat ini dan para sahabatku.”[9]

Ibnu Wadhdhah (hal. 9) berkata dalam kitabnya al-Bida’ wa ma nuhiya ‘anha (bid’ah dan yang dilarang darinya) dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu: ‘Sesungguhnya Amar bin ‘Utbah dan beberapa sahabatnya membangun masjid di Kufah, maka Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menyuruh untuk diruntuhkan. Kemudian sampai berita kepadanya bahwa mereka berkumpul di sisi masjid Kufah membaca tasbih yang sudah diketahui, bertahlil dan bertakbir. Ia berkata, ‘Maka ia memakai burnus (baju luar panjang yang bertutup kepala), kemudian pergi lalu duduk di sisi mereka. Maka tatkala ia mengetahui apa yang mereka ucapkan, ia mengangkat burnus dari kepalanya, kemudian berkata: ‘Aku Abu Abdurrahman, kemudian ia berkata, ‘Kamu telah melebihi para sahabat nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dalam ilmu, atau sungguh kamu telah melakukan bid’ah secara zalim…” Dia dan yang lainnya memperingatkan dari perbuatan bid’ah dan mendorong manusia agar mengikut para salaf (pendahulu).

Diriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu anhu memotong pohon yang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan bai’at di bawahnya, tatkala ia melihat sebagian orang pergi ke sana.

Sudah diketahui bahwa membangun masjid bertujuan mengumpulkan manusia untuk beribadah, ia merupakan berkumpul yang dimaksudkan di dalam syari’at. Dan adanya tujuh masjid di satu tempat tidak bisa merealisasikan tujuan ini, bahkan ia mengajak kepada perpecahan yang bertentangan dengan tujuan syari’at. Ia tidak dibangun untuk berkumpul, karena posisinya sangat berdekatan. Namun dibangun untuk mengambil berkah dengan melakukan shalat dan berdoa padanya. Ini merupakan bid’ah yang nyata. Adapun dasar penamaan masjid-masjid ini dengan nama ini –maksudnya masjid tujuh- maka tidak mempunyai sandaran sejarah sama sekali. Sesungguhnya (Ibnu Zabalah) menyebutkan masjid Fath. Ia adalah seorang pembohong, para ahli hadits menuduhnya seperti itu. Ia wafat di akhir tahun dua ratusan.[10] Kemudian datang sesudahnya (Ibnu Syabbah) seorang ahli sejarah dan ia menyebutkannya.[11] Sudah diketahui bahwa para ahli sejarah tidak mementingkan sanad dan keabsahannya. Sesungguhnya mereka mengutip berita yang sampai kepada mereka dan menyandarkan tanggung jawab kepada yang menceritakan kepada mereka, seperti yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Jarir dalam Tarikhnya.[12]

Adapun terbuktinya secara syara’ untuk nama ini, atau untuk satu masjid darinya, maka tidak pernah dikenal dengan sanad yang shahih. Para sahabat memberikan perhatian dengan mengutip perkataan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan perbuatannya. Bahkan mereka mengutip segala hal yang mereka melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukannya, hingga qadha hajat (buang air). Mereka meriwayatkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mendatangi masjid Quba` setiap minggu, shalat kepada para syuhada Uhud sebelum wafatnya seperti memberikan perantunan kepada mereka, hingga riwayat lainnya yang mengisi kitab-kitab sunnah.

Adapun masjid-masjid ini, para ahli hadits dan sejarah telah melakukan penelitian tentang dasar penamaannya. Syaikh as-Samhudi berkata:[13]Saya tidak menemukan dasar semua itu. Dan ia berkata setelah pembicaraan yang lain: ‘Padahal saya tidak menemukan dasar pemberian nama ini, dan tidak pula pada penyandaran masjid-masjid terdahulu dalam ucapan al-Mathari.

Adapun Syaikhul Islam rahimahullah, ia berkata : Yang dimaksud di sini, sesungguhnya sahabat dan para tabiin tidak pernah membangun sedikitpun dari bekas para nabi, seperti beliau pernah singgah padanya, atau shalat padanya, atau melakukan sesuatu dari hal itu, mereka tidak pernah bermaksud membangun masjid karena bekas para nabi dan orang-orang shalih. Bahkan para pemimpin mereka seperti Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu dan yang lainnya melarang bertujuan shalat di tempat yang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam shalat padanya secara kebetulan, bukan bertujuan. Dan disebutkan bahwa Umar Radhiyallahu anhu dan semua sahabat dari khilafah rasyidah dan sepuluh sahabat serta selain mereka, seperti Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, Mu’azd bin Jabal, Ubay bin Ka’ab –Radhiyallahu ‘anhum- tidak pernah bertujuan shalat di tempat-tempat itu.

Kemudian Syaikhul Islam menyebutkan bahwa di Madinah terdapat banyak masjid dan sesungguhnya tidak ada keutamaan khusus padanya selain masjid Quba`. Adapun yang muncul di dalam Islam berupa masjid-masjid dan bangunan di atas kubur dan tempat bersejarah termasuk bid’ah di dalam islam yang bersumber dari perbuatan orang yang tidak mengenal islam.

Imam Syathibi menyebutkan dalam kitabnya ‘al-I’tisham:’[14]Ibnu Kinanah ditanya tentang bekas-bekas yang mereka tinggalkan di Madinah, ia berkata: ‘Yang ada di sisi kami adalah masjid Quba`…dan diriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu anhu memotong pohon yang dia melihat orang-orang mendatanginya untuk shalat di sisinya, karena mengkhawatirkan fitnah terhadap mereka.’ Umar bin Syabbah menyebutkan dalam ‘Akhbarul Madinah‘ dan sesudahnya al-Aini dalam (Syarh al-Bukhari) beberapa masjid, akan tetapi mereka tidak menyebutkan masjid tujuh dengan nama ini.

Dengan pemaparan singkat ini bisa diketahui bahwa tidak pernah ada riwayat tentang masjid tujuh, bahkan tidak ada pula yang dinamakan masjid Fath, yang diperhatikan oleh Abul Haija` seorang menteri dinasti Ubidiyin yang sudah dikenal mazhab mereka. Di mana masjid-masjid menjadi tujuan kebanyakan orang untuk ziarah, shalat di dalamnya, mengambil berkah dengannya, dan menjadi sesat karenanya kebanyakan pendatang untuk berziarah ke Masjid Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Maka bertujuan ziarah ke sana adalah bid’ah yang nampak, dan membiarkannya bertentangan dengan tujuan syari’at serta perintah-perintah yang diutus untuk ikhlas dalam ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menuntut menghilangkannya, di mana beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang bukan perkara kami maka ia ditolak.”[15]

Maka wajib menghilangkannya karena menghindari fitnah dan menutup sarana menuju syirik, menjaga akidah kaum muslimin yang bersih, memelihara sisi tauhid, karena mengikuti khalifah rasyidah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, di mana beliau memotong pohon Hudaibiyah tatkala melihat manusia pergi kepadanya karena terjadinya fitnah terhadap mereka dan ia menjelaskan bahwa umat-umat sebelumnya menjadi binasa karena mengikuti jejak-jejak para nabi yang mereka tidak disuruh dengannya, karena hal itu merupakan penetapan syari’at yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengijinkannya.

Kedua : Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tujuan manusia kepada masjid-masjid tujuh ini dan masjid-masjid lainnya yang baru, untuk mengetahui bekas (sejarah), atau beribadah, atau mengusap dindingnya dan mihrabnya dan mengambil berkah dengannya adalah bid’ah dan termasuk salah satu jenis syirik. Mirip seperti perbuatan orang-orang kafir di masa jahiliyah yang pertama dengan berhala mereka. Maka setiap muslim berkewajiban memberi nasehat untuk dirinya agar meninggalkan perbuatan ini dan menasehatkan kepada saudaranya kaum muslimin agar meninggalkannya.

Ketiga : dengan ini bisa diketahui bahwa yang dilakukan sebagian orang yang lemah jiwanya berupa memberikan iming-iming dengan para jemaah haji dan peziarah, dan membawa mereka dengan upah ke tempat-tempat bid’ah ini, seperti masjid tujuh adalah perbuatan yang haram, dan yang diambil sebagai imbalannya adalah usaha yang haram. Maka pelakunya harus meninggalkannya.

وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. [At-Talaq/65:2]

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ

Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. [At-Talaq/65:3]

Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Dari kitab: Fatawa wa bayanat muhimmah hal 82.

[Disalin dari حكم زيارة المساجد الأثرية بالمدينة المنورة  Penulis : اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء (Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu dan Fatwa) Penerjemah Muhammad Iqbal A. Gazali, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]
______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari 1190 dan Muslim 1394, 1395, 1396.
[2] HR. at-Tirmidzi 324, Ibnu Majah 1411, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 1627, dan at-Tirmidzi berkata: Hasan Gharib.
[3] HR. Ahmad (3/487, an-Nasa`I 699, Ibnu Majah 1412, Ibnu Abi Syaibah 7530, ath-Thabrani dalam al-kabir 6/5560, 5561, al-Hakim 3/13 (4279, ia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[4] Al-Bukhari 2697 dan Muslim 4492.
[5] Al-Bukhari menyebutkan secara mu’allaq (tanpa sanad) di dalam kitab jual beli dan I’tisham dan dimaushulkan oleh Muslim 1718 -18
[6] Ahmad 4/126, Abu Daud 4607, at-Tirmidzi 2676 dan ia berkata: hasan shahih, Ibnu Majah 42,43, Ibnu Hibban 5, al-Hakim 1/174,177 (329-333) dan ia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[7] Ahmad 5/382, at-Tirmidzi 3662, Ibnu Majah 97, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 31942, ath-Thabrani dalam al-Ausath 4/1403816. Berkata dalam Majma’ az-Zawaid 9/295: padanya ada Yahya bin Abdul Hamid al-hamani, dia dha’if. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim 3/ 75-80 (4451-4455) dishahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dishahihkan oleh Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 2895-2896 dan Shahih Ibnu Majah 80. dan dikeluarkan pula oleh Abu Darda: ath-Thabrani dalam Musnad Syamiyin (913), Ibnu Asakir sebagaimana dalam Duurul Mantsur 2/23. berkata dalam Majma’ az-Zawaid 9/53: padanya ada yang tidak saya kenal. Dan keluarkan pula dari hadits Abdullah bin Mas’ud rad: at-Tirmidzi 3805 dan ath-Thabrani dalam al-Kabir 9/76 (37375), al-Hakim 3/80 (4456) dishahihkan oleh Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 2992.
[8] Ahmad 5/218, at-Tirmidzi 2180 dan ia berkata: Hasan Shahih, Ibnu Abi Syaibah 37375, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 6702, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 3/244 17/21, al-Haitsami berkata dalam Majma’ Zawaid 7/24: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dalam sanadnya ada yang bernama Katsir bin Abdullah, didha’ifkan oleh jumhur dan at-Tirmidz menghasankan haditsnya.
[9] Diriwayatkan secara sempurna dan ringkas di sisi yang lain: Abu Daud 4596, 4597, Ibnu Majah 3992, Ahmad 2.332, Ibnu Hibban 6247, ath-Thabrani dalam ash-Shaghir 724, dan al-Ausath 4886, 7840, al-Hakim1/6. 128, 129 (10, 441,444) dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud (3842).
[10] Lihat: Taqrib at-Tahzib 5815.
[11] Dalam bukunya: Akhbarul Madinah an-Nabawiyah (1/60-62)
[12] Tarikh ath-Thabari 1/13 dengan semisalnya.
[13] Dalam bukunya: Khulashatul Wafa bi akhbaril mushthafa 2/306.
[14] Al-I’tisham 1/346.
[15] Al-Bukhari 2697 dan Muslim 4492.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/36100-ziarah-ke-masjid-masjid-bersejarah-di-madinah-al-munawwarah-2.html